Metal Gear Solid V: Ground Zeroes Review (Bahasa Indonesia)

http://gaminrealm.com/wp-content/uploads/2014/02/MGS5-Theme-2.jpg
Metal Gear Solid (MGS) memang tak salah apabila disebut sebagai salah satu franchise tersukses Konami. Game berbasis stealth ini senantiasa laris mendulang hasil dan diyakini fansnya sanggup mempertahankan konsistensi kualitas yang pada saat ini mulai melangka di industri. Di bawah pengarahan pembuat game beken Hideo Kojima, setiap entri baru yang menyandang titel Metal Gear selalu jadi satu yang dinanti. Terlebih lagi untuk sebuah judul yang berperan mengembangkan semesta cerita utamanya, seperti Metal Gear Solid V: The Phantom Pain.

Dengan standar yang selalu dituntut untuk meningkat pada tiap judulnya, proyek sekaliber MGS kontan membutuhkan waktu pengembangan yang tidak sebentar. Namun, tuntutan pasar pun tak bisa diabaikan begitu saja. Ketimbang membuat fans terlalu lama menunggu, Konami pun mau 'bermurah hati' memperkenankan mereka yang berminat untuk dapat merasakan pengalamannya lebih dulu.
Atas hal yang demikian, Konami dan Kojima pun berinisiatif untuk membagi proyek Metal Gear Solid V-nya ke dalam dua fase. Sebagai yang pertama datang, adalah sebuah prolog atau bagian pengantar yang dijudulinya dengan Metal Gear Solid V: Ground Zeroes. Inilah model pemasaran terbaru yang diperkenalkan Konami.
Alih-alih menyebutnya sebuah demo, Kojima cenderung menanamkan anggapan Ground Zeroes sebagai pembukaan pra peristiwa yang terjadi dalam The Phantom Pain. Tentu, ini merupakan bagian vital yang tak bisa dilewatkan oleh setiap gamer yang setia mengikuti jalan ceritanya. Sementara dari segi gameplay, bagian pengantar ini adalah satu yang memperkenalkan pemainnya pada babak baru Metal Gear next-gen, dengan rancangan yang mengacu pada orientasi open world dan mekanisme-mekanisme baru di dalamnya.
Tapi, sebutan hanya sekedar demo pun sebenarnya memang tidak tepat sepenuhnya. Ground Zeroes turut menyertakan sejumlah Side Ops yang menjadikan game-nya belum tuntas hanya dengan menyelesaikan sebatas skenario misi utamanya. Secara menyeluruh, terdapat beberapa misi tambahan yang dapat dimainkan untuk durasi lebih lama, walau tak dipungkiri, setting Camp Omega yang hanya sekedar diotak-atik (siang/malam) demi memberi variasi rasanya masihlah kurang untuk memuaskan. Namun, setidaknya dengan rancangan map yang brilian dan gameplay yang lebih memberi pilihan cara dalam bermain, entri ini tetaplah patut untuk dimainkan.
Setelah cerita Big Boss yang terakhir kalinya diangkat dalam Metal Gear Solid: Peace Walker, Ground Zeroes menyambungnya dengan sebuah misi penyelamatan yang harus dijalankan sang pahlawan legendaris. Adalah Chico dan Paz, kedua tokoh yang pertama kalinya dikenal fans dalam Peace Walker, sebagai tawanan yang harus dibebaskan Snake. Selain itu, judul ini memperkenalkan pula sosok antagonis yang dipanggil dengan sebutan Skull Face, seorang pimpinan dari XOF (kebalikan dari FOX). Singkat dalam bercerita dan kontan menyisakan akhir yang menggantung, kelanjutannya pun baru akan dapat diikuti kembali pada The Phantom Pain yang (mungkin) datang tahun depan.

Ikut menandai debutnya di generasi konsol terkini, adalah perkenalan terhadap elemen open world dalam MGS yang telah muncul kali pertamanya. Berbeda dari seri-seri terdahulu yang lebih linier, konvensional, dan lebih kaku dalam bermekanisme, Ground Zeroes mengemas gameplay-nya dengan lokasi yang tak hanya lebih luas untuk dikelilingi, tapi juga dinamis. Dunia ini terasa lebih hidup dengan AI lawan yang lebih punya variasi dalam beraktivitas, berkomunikasi satu sama lain, dan cukup peka untuk memergoki gerakanmu yang mencurigakan. Untuk pertama kalinya juga, Ground Zeroes memperkenalkan sebuah MGS dengan sistem transportasi yang fungsional, walau pada prolog ini baru sebatas truk, jeep, dan tank, berikut helikopter untuk membebaskan tawanan sekaligus menyudahi misi. Dan meski terhitung semi-open world, nyatanya ruang bermain ini tetaplah mempunyai batasan.
Mekanisme yang berkembang pun tak ketinggalan didapati oleh Snake itu sendiri. Sang jagoan makin terasa luwes secara pergerakan, mampu melakukan multiple takedown, dan suatu hal baru yang dinamakan Reflex Mode. Reflex Mode memungkinkan Snake dapat mengantisipasi situasi 'Alert' lebih cepat dalam slow motion. Memang dapat dinon-aktifkan, namun fitur ini kiranya merupakan salah satu tambahan yang diimplementasikan sebagai ganti dari radar yang kali ini ditiadakan, walau di lain sisi, hilangnya radar cukup diakui membuat pergerakan terasa lebih dibatasi dengan jarak pandang yang lebih sempit. Selain itu, posisi lawan juga dapat ditandai dengan binoculars dan menginterogasi lawan tertentu.
Adapun perubahan radikal lainnya yang dialami Ground Zeroes terdapat pada Snake yang tak lagi membutuhkan konsumsi Ration untuk memulihkan health. Seperti yang ditemukan pada game shooter kebanyakan, health kini dapat beregenerasi dengan sendirinya. Mekanisme yang sebenarnya mungkin agak terasa memperkenankan gamers lebih berani dalam berkonfrontasi. Akan tetapi, stealth tetaplah esensi yang diusungnya, sebagaimana gameplay secara menyeluruh memang lebih dirancang untuk itu. Hanya saja, dalam kemasan yang lebih modern dan lepas dari idealisme MGS biasanya.
Memainkan Ground Zeroes pun tak hanya memperkenankan gamers mencicipi seperti apa sebuah MGS next-gen. Harus diakui, Fox Engine adalah satu di antara alasan utama untuk menjajal game ini. Setelah PES 2014 yang belum cukup memaksimalkannya, engine kreasi Kojima Productions ini akhirnya tampil dalam performa yang jauh lebih gemilang. Tak hanya mampu memfasilitasi open world perdana MGS, Fox Engine memang memukau. Cutscene menawan, pencahayaan dengan efek in-game yang mempesona, environment yang tampak realistis, dan mulusnya dukungan 60 fps. Photorealistic yang selama ini digembar-gemborkan Kojima pun dipresentasikan dengan memuaskan. Suatu teknologi grafis yang memang merepresentasikan next-gen dalam arti sungguhan.
Adapun salah satu hal yang dipandang skeptis semenjak konfirmasinya adalah absensi David Hayter yang untuk kali ini harus melepas peran ikoniknya sebagai Snake. Bertahun-tahun mengenal sang voice actor menyuarakan tokoh jagoannya, sekarang fans harus rela mempercayakan Big Boss pada seseorang yang lain. Ialah Kiefer Sutherland, aktor profesional yang terkenal lewat perannya sebagai Jack Bauer dalam serial TV 24. Tidaklah buruk, namun sedikit janggal yang mungkin dipengaruhi kuatnya Hayter terhadap karakterisasi Snake di telinga fans.
Dengan persembahan yang secara garis besarnya kembali mengesankan, harus disayangkan bahwa durasi memang jadi minus yang dialami sebagaimana Ground Zeroes barulah sebuah prolog dari The Phantom Pain. Seperti yang telah disebutkan, game ini mengemas di dalamnya satu misi utama dengan lima misi tambahan. Namun, rancangan gameplay yang memberi ruang untuk berimprovisasi adalah hal yang memungkinkannya dapat dimainkan hingga beberapa kali. Belum lagi dengan masih adanya sejumlah collectibles dan rahasia yang menarik untuk dilihat, serta catatan rekor untuk ditaklukkan.
Sebagai ekstra, satu dari antara lima misi tambahan yang dimaksud merupakan Extra Ops yang eksklusif menurut platform. Sementara misi eksklusif PlayStation yang dijuduli Deja Vu akan membawa fans bernostalgia dengan sejumlah momen Metal Gear Solid, misi eksklusif Xbox yang bertajuk Jamais Vu akan mendatangkan Raiden dari Metal Gear Rising: Revengeance untuk melumpuhkan para "Snatcher."
Tak ketinggalan, Ground Zeroes juga menyertakan gimmick berupa kendali iDROID pada perangkat second screen. iDROID adalah menu interface yang di antaranya berperan menunjukkan peta, memanggil helikopter, dan memutar kaset. Dengan app khusus yang dapat di-download pada smartphone, gamers dapat menemukan Mother Base sebagai fitur tambahan yang dapat diakses.
Terlepas dari pro dan kontra yang memperdebatkan keberadaannya, tetap dapat ditekankan bahwa Ground Zeroes adalah sebuah persembahan dengan kualitas untuk para fans setia. Memang, entri ini belumlah menawarkan yang lebih banyak menyangkut cerita dan gameplay-nya secara menyeluruh. Ini barulah sebatas pembukaan untuk sesuatu yang menjanjikan pada nantinya, The Phantom Pain.
Baik sebagai game, namun lain halnya sebagai model dalam industri. Ground Zeroes punya hal-hal yang membuat nilainya bagus untuk tolak ukur sebuah game, tetapi sayangnya bukanlah suatu strategi pemasaran yang dapat diaplikasikan oleh tiap judul untuk semua gamers, walaupun game ini memang dijual dengan harga lebih rendah.
Sementara kelengkapan atas jalan ceritanya baru akan terpenuhi oleh eksistensi The Phantom Pain, Ground Zeroes adalah jawaban dari Konami dan Hideo Kojima atas penantian fans yang sudah tak sabar untuk mencoba sekilas Metal Gear berkualitas next-gen. Meski relatif singkat, Ground Zeroes adalah sebuah pengalaman yang mengesankan. Sesuatu yang bahkan lebih baik daripada game-game yang punya durasi penuh, tapinya belum berhasil melakukan pekerjaannya dengan baik. Ah, cepatlah datang The Phantom Pain (Sumber: videogamesindonesia.com)
Share on Google Plus

About Dicky Perdana Putra

0 comments: