Dibanding temen-teman superhero
di The Avengers, Steve Rogers alias Captain America boleh dibilang
kurang mendapatkan sorotan, dipandang sebelah mata dan dianggap paling
cemen dalam soal kekuatan. Sebelum “The Winter Soldier”, saya akui
Captain America memang tak seratus persen memperlihatkan siapa sih
dirinya yang sebenarnya, entah itu di “The First Avenger”, yang
merupakan film pertama sang Kapten ataupun di “The Avengers”, dimana
nantinya dia membagi porsi tampilnya bersama jagoan-jagoan Marvel
lainnya. Apa sih kekuatan Steve dibandingkan Iron Man dengar armor-nya
yang super canggih, Thor yang punya status Dewa dan kekuatan dari
“alam” lain, atau raksasa hijau bernama Hulk, dia bisa meratakan satu
kota jika dia mau. Kalau mau adu kuat,
Captain America bisa dikatakan yang paling diremehkan, bisa apa sih
bermodalkan tameng bersimbol bintang itu. Tunggu, jika kita mau melihat
lebih jeli, ketimbang superhero lainnya, Captain America justru yang paling cocok disebut superhero yang sebenarnya. Buat saya kata superhero bukan
melulu diartikan jagoan yang bisa mengeluarkan sinar laser dari kedua
tangan dan dadanya, atau mampu memanggil petir lewat palunya. Steve
Rogers, sejak dari awal punya lebih banyak kekuatan, bahkan jika mau
diingat-ingat sebelum dia disuntikkan serum super-soldier yang
kemudian menjadikannya Captain America. Kekuatannya berasal dari hatinya
yang benar-benar murni ingin membela kebenaran, kebaikan dan
keberanian.
Diremehkan mungkin memang sudah jadi
kata yang melekat dalam diri Captain America, sebelum punya kekuatan
super, tubuhnya yang kurus penyakitan selalu jadi bahan untuk di-bully,
dipukuli di gang senggol setiap hari, gagal menjadi tentara dan pada
awalnya dianggap tak pantas dipilih untuk menerima suntikan super-soldier
oleh Colonel Chester Phillips (Tommy Lee Jones). Bahkan pada saat sudah
menjadi Captain America pun, Steve masih saja jadi bahan olok-olok,
tapi karena pada dasarnya tak pernah mau memulai perkelahian dan tak mau
pamer, wajar jika kemudian dianggap paling lemah. Semuanya akan berubah
ketika kita melihat Captain America di film keduanya ini, dengan skrip
yang kembali ditulis keroyokan oleh duo Christopher Markus dan Stephen
McFeely, ditangan Russo bersaudara yang menggantikan posisi Joe Johnston
sebagai sutradara, Captain America benar-benar ditempatkan untuk
mengeluarkan seluruh kemampuannya yang selama ini disembunyikan. Mau
melihat Captain America yang lebih badass, yah di film ini, semua keraguan tentang status ke-superhero-an
sang Kapten tiba-tiba luntur begitu kita dipertontonkan siapa Captain
America yang sebenarnya. Itu dari segi personal, dari keseluruhan film,
tidak saja sekuelnya lebih baik dari predesesornya tapi juga jadi
salah-satu film terbaik yang dimiliki Marvel.
“Captain America: The Winter Soldier” akan bercerita dua tahun paska kejadian di “The Avengers”, setelah Battle of New York, Steve Rogers bekerja membantu S.H.I.E.L.D. sambil masih berusaha beradaptasi dengan lingkungan modern. Well, semua
tampak normal, misi sang Kapten membebaskan sandera di kapal milik
S.H.I.E.L.D. bersama Natasha Romanoff alias Black Widow (Scarlett
Johansson) juga sukses besar walaupun ada sedikit kericuhan. Namun
keadaan berbalik 180 derajat ketika Captain America harus berjibaku
dengan konspirasi tingkat tinggi di tubuh organisasi S.H.I.E.L.D, semua
makin runyam ketika Captain America juga harus berhadapan dengan musuh
lama, sekaligus kedatangan kawan dari masa lalu yang kini jadi lawan
sang Kapten. Dari secuil sinopsis tersebut saja, saya bisa menebak film
Captain America bakal hadirkan cerita yang lebih greget, nyatanya memang
benar dan diluar dugaan porsi cerita benar-benar diperhatikan sangat
jeli oleh kedua penulis skripnya. Kita memang akan disodorkan Captain
America yang baru, hasil permak Russo bersaudara, tapi bukan berarti
film ini melupakan karakter Captain America yang sudah dibangun susah
payah di film pertama. Di sekuelnya ini, karakter Captain America
tetaplah Captain America yang kita telah kenal sebelumnya, bahkan lebih
baik lagi karakter tersebut tak didiamkan untuk monoton tapi diberikan
penyegaran dan dikembangkan untuk semakin memberi penegasan bahwa
Captain America memang superhero yang sesungguhnya.
“Captain America: The Winter Soldier”
bukan saja soal mengobrak-abrikan kota jadi lahan bermain visual efek
dan CGI-nya, tapi memberikan kita film superhero yang juga
punya cerita di dalamnya, bahkan cerita yang lebih punya bobot. Sang
Kapten pun diposisikan layaknya agen-agen rahasia di film-film spionase,
semua keseruan di film ini justru datang dari tindak-tanduknya mencari
jawaban siapa dalang dibalik kekacauan ini. Visual efek dan CGI jadi
semacam bonus, dan Russo bersaudara tahu apa yang mereka lakukan ketika
menggeser efek-efek komputer untuk kemudian lebih banyak bermain aksi
tarung jarak dekat yang memukau. Disinilah Captain America benar-benar
dibiarkan untuk pamer kelebihannya, ah saya tak pernah melihat film superhero semenarik ini ketika tiba waktunya untuk adu jotos-jotosan, didukung dengan formula koreografi martial art yang bangsat, mengingatkan saya ketika Iko Uwais menghajar musuh-musuhnya, well
ternyata “The Raid” jadi inspirasi untuk film ini, seperti diakui oleh
Anthony Russo dan Joe Russo dalam sebuah wawancara.
Pertarungan-pertarungan Captain America jadi lebih brutal ditemani
tehnik-tehnik beladiri yang bervariasi, apalagi ketika saatnya Captain
America harus berhadapan satu lawan satu dengan lawan yang tak kalah badass, The
Winter Soldier. Saya benar-benar menikmati setiap adegan baku hantam
yang terjadi di film ini, disiapkan untuk merontokkan gigi sekaligus
memacu adrenalin hingga lepas kendali dan yang paling penting sekarang
adalah tak akan ada lagi yang mau main-main dengan Captain America. Film
superhero yang memuaskan dengan cerita kompleks yang asyik
diikuti, dibalut aksi jagoan super-seru, “Captain America: The Winter
Soldier” benar-benar memuaskan.
0 comments:
Post a Comment