Abalam is back!! sang iblis kembali men-stalking Nell Sweetzer (Ashley Bell) di film yang merupakan kelanjutan dari “The Last Exorcism”
(2010) ini. Agak-agak menggelikan jika melihat judulnya yang punya
embel-embel “The Last…”, namun kok ada sekuelnya, katanya “terakhir”,
sudahlah itu hanya konyol-konyolan saya saja, apapun bisa terjadi di Hollywood,
bukan. Dengan formula film horor bujet murah mengharap laba besar, film
pertama bisa dikatakan sukses besar dengan mengantongi 60-an juta dolar
dari modalnya yang hanya kurang dari 2 juta dolar saja. Tentu saja ide
untuk membuat sekuelnya tampak menggiurkan, walaupun nantinya kurang
sukses, pastinya sudah jaminan balik modal, setidaknya. Apalagi sejak Paranormal Activity
sukses besar, film-film horor berbujet murah jadi cara baru untuk
menggandakan uang sebanyak-banyaknya tanpa bantuan dari dukun.
Blumhouse Productions bisa dibilang yang paling bergairah menghasilkan
horor “murahan” bermodal 5 jutaan dolar, sebut saja film-film mereka
seperti: Sinister, The Purge dan Insidious Chapter 2.
Walau fokusnya untuk membuat film untung secara finansial, bukan
berarti film-film horor berbujet mikro tersebut dibiarkan buluk dalam
soal kualitas. “The Last Exorcism” sebenarnya pun bukan film yang jelek,
tapi tak juga bisa disebut horor yang istimewa, walau tak bisa
dipungkiri film ini memiliki ending yang betul-betul brengsek.
Tapi saya rasa untuk dibuat sekuelnya adalah hal yang paling tidak
diperlukan, “The Last Exorcism” harusnya memang berhenti di film
pertama…harusnya, tapi Abalam berkata lain.
Kalau mau dibanding-bandingkan,
sekuelnya justru melempem untuk urusannya menakut-nakuti, kecuali adegan
pembukannya yang sukses membuat keseluruh bagian tubuh ini bergidik,
sisanya biasa saja. “The Last Exorcism Part II” sekali lagi berfokus
pada gadis berwajah pucat bernama Nell (makin pucat saja disini),
setelah kejadian mengerikan yang menimpanya di film pertama, Nell
sekarang diasuh oleh Frank (Muse Watson) di rumahnya yang memang
tampaknya seperti asrama bagi gadis-gadis bermasalah yang tak punya
tempat tinggal. Beberapa bulan tinggal di rumah tersebut, Nell mengalami
kemajuan, walaupun tetap jadi gadis yang terlihat aneh, setidaknya dia
bisa beradaptasi dengan lingkungannya yang baru, ditambah sekarang dia
dipekerjakan di sebuah hotel. Makin kelihatan normal dari hari ke hari,
punya banyak teman dan mulai mengenal laki-laki, Nell tampaknya bisa
sedikit tenang tidak lagi merasa dikejar oleh kegelapan. Seperti
membalikkan telapak tangan, semudah itu juga semua berubah, awalnya
semua tampak semacam halusinasi bagi Nell, dia berusaha menyangkal
Abalam sedang mendekatinya lagi dan mengabaikan kejadian-kejadian aneh
disekitarnya. Well, Abalam tentu semakin tertantang melihat
Nell mengacuhkannya, saatnya untuk serius dan terlambat bagi Nell untuk
berusaha lari dari takdirnya.
Tidak lagi dibungkus dalam format mokumenter (found footage), tampaknya jadi bumerang bagi “The Last Exorcism Part II”, karena sekarang filmnya kehilangan unsur creepy
dan atmosfir yang membuat film pertama terasa begitu nyata. Tapi
tampaknya Ed Gass-Donnelly ingin mencoba pendekatan yang berbeda dari
apa yang sudah dilakukan oleh Daniel Stamm, membuatnya lebih
konvensional dan menghilangkan elemen dokumenter palsu. Sebetulnya tak
jadi soal apakah film ini dikemas ala found footage atau tidak,
karena yang penting bagaimana Ed Gass menghadirkan kengerian yang
benar-benar baru di sekuel ini. Namun sayangnya hal tersebut tak
terjadi, karena apa yang disajikan “The Last Exorcism Part II” tak lebih
dari formula usang hasil daur ulang. Jika film pertama masih bisa
memberi kejutan-kejutan manis dan adegan-adegan yang cukup menakutkan,
maka tidak demikian dengan sekuelnya. Walaupun membuat saya penasaran
dan tak sampai mati kebosanan, “The Last Exorcism Part II” tidak sanggup
memuaskan harapan saya untuk ditakuti-takuti, bahkan ketika bagian
pengusiran setan dimunculkan, rasanya tak ada yang istimewa, padahal
bagian terpenting yang harusnya dapat menyelamatkan film ini dari
kehancuran total, sayang sekali.
Tak semua bagian di “The Last Exorcism
Part II” terlihat gagal di mata saya, satu-satunya yang masih bisa
ditolerir adalah akting Ashley Bell dalam memerankan gadis pucat
bersepatu Doc Martens, Nell. Dialah yang masih membuat saya pada
akhirnya memutuskan bertahan menunggu cerita hingga selesai. Walaupun
saya akui karakternya tidak diberi ruang untuk berkembang terlalu
banyak, tapi saya pikir setidaknya karakter Nell masih bisa dibilang
menarik. Fokus film yang dari awal memang tertuju pada horor yang
menyelimuti Nell dan perjuangannya agar bisa terbebas dari jeratan iblis
yang menginginkan tubuhnya, membuat Ashley Bell harus bisa menaklukkan
penontonnya. Pekerjaan rumah yang akhirnya bisa dikerjakan dengan baik
oleh Ashley, walau sekali lagi filmnya sama sekali tidak menakutkan,
tapi setidaknya Ashley masih mampu membuat saya bertahan tak buru-buru
meninggalkan film ini. “The Last Exorcism Part II” memiliki potensi
untuk jadi film horor yang menakutkan, sayangnya skrip yang ditulis
Damien Chazelle bersama dengan Ed Gass terlalu lemah dalam menghadirkan
kengerian yang seharusnya bisa lebih dipoles lagi. Padahal saya
betul-betul menikmati film ini walaupun tak memberikan horor yang saya
inginkan. “The Last Exorcism Part II” justru bisa membuat saya
benar-benar senang di 5 menit akhir film.
0 comments:
Post a Comment